Selasa, 04 November 2008

Bapak Oemartopo Tutup Usia, 72 Tahun

Cerutu dan gergaji. Bulan Maret 2008 Bapak Oemartopo masih mendalang di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta. “Selama dua jam penuh, berbahasa Inggris,” ujar beliau bersemangat. Saat itu, 19 Agustus 2008, beliau saya temui untuk meminta pendapat beliau sebagai sesepuh Kampung Kajen dan pejuang 1945 terkait renungan HUT Kemerdekaan RI ke 63. Walau mengaku dalam keadaan sakit, ada gangguan syaraf di punggung, beliau lancar dalam bercerita.

Tergoda untuk mengetahui bagaimana humor dalam wayang bisa diterima oleh penonton wayang yang orang Barat, saya telah tanyakan hal itu kepada Pak Oemar. Beliau punya cerita ilustrasi yang menarik. Antara lain tentang sikap “kurang ajar” para punokawan dalam memperlakukan para raksasa. Misalnya ketika Petruk mengelus-elus gigi-gigi para raksasa. “Like a saw,” cetus Petruk. Seperti gergaji. Sementara Gareng ikut menimpali ketika ia justru memegang-megang hidung si Petruk. “Like a cigar.” Seperti cerutu, demikian kata Gareng.

Audiens pun tergelak. Tetapi yang paling lucu mungkin kisah tentang Sengkuni, maha patih yang eksentrik dan licik itu. Konon setelah pasukan kerajaannya menang perang di kerajaan Wirata, dan setelah menempuh jarak ribuan kilometer untuk pulang, ia mengadu ke Resi Durna. Sengkuni mengeluh, “I left my cigarette in Wirata.” Rokok klobot, rokok tradisional milik Sengkuni yang dibungkus dengan kulit buah jagung itu ketinggalan di Wirata. Dan ia sangat menyesalinya.

Dalam obrolan itu saya sempat merekam secara video pendapat beliau mengenai bagaimana warga Kajen, juga anak bangsa, dalam mengisi kemerdekaan. Seperti isi pidato beliau di acara renungan HUT RI ke 62 (2007) yang dilangsungkan di halaman rumah saya, sebagai pejuang beliau sangat geram akan perilaku para koruptor. “Mereka itu yang berpotensi menenggelamkan negeri ini ke jurang kehancuran,” tegas Pak Oemartopo.

Terkait dengan sosok beliau sebagai budayawan, dalang dan etnomusikolog yang mendunia, beliau menceritakan hal yang menarik. Bila bisa sembuh total, beliau akan mengajak saya untuk menemaninya mengikuti acara pertemuan budaya yang diadakan tahunan di Bali, yaitu World Music Workshop in Bali.Beliau juga menyebut nama Dr. Robert E. Brown, direktur kegiatan budaya ini. “Akomodasi akan ditanggung oleh panitia,” tutur beliau. Terima kasih, Pak Oemar.


Selamat jalan, Pak Oemar. Penutur lelucon wayang di atas, kini telah menghadap Sang Khalik Bapak Oemartopo meninggal dunia tanggal 4 November 2008 Jam 01.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Muwardi, Solo. Tutup usia mencapai 72 tahun. Jenazah dimakamkan di Pemakaman Umum Kajen Giripurwo, Wonogiri, Rabu, 5 November 2008.

Wonogiri merasa kehilangan salah satu warga terhormat dan duta budayanya yang terbaik. Kabar duka ini pun segera menyebar, dan sejak pagi rumah beliau telah dikunjungi ratusan takziah. Jumlah itu semakin bertambah di siang harinya. Belasan karangan bunga, dari Bupati Wonogiri, fraksi Partai Golkar di DPRD, kalangan pengusaha sampai sekolah, menunjukkan luasnya lingkup pergaulan beliau. Liputan fotonya sebagai berikut :

Photobucket

Wakil keluarga. Tokoh budaya dan Ketua Permadani Wonogiri, Drs. AK Djaelani, didampingi menantu Moch Subhan Kenedi dan putra, Puguh Aldoko Putro, menyambut para takziah. Selaku wakil dari keluarga beliau mengucapkan banyak terima kasih atas empati masyarakat Wonogiri, juga memohonkan maaf bagi semua kesalahan almarhum ketika berinteraksi dengan masyarakat di kala hidupnya.

Ikut memberikan sambutan dan penghiburan bagi yang berduka adalah Camat Wonogiri, Bapak Drs. Sriyono, MM. Sedang pembacaan doa dilaksanakan oleh Bapak Mohammmad Soepandi, BA.

Photobucket

Bendera duka. Bapak H. Oemartopo lahir di Sragen, 3 Desember 1936. Beliau menjabat sebagai guru SPG di Wonogiri sejak tahun 1961 sampai 1990. Mengajar kesenian di Amerika Serikat selama 12 tahun dan di Hongaria, 2 tahun. Dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan oleh pambiwara, RMT Ki Lilik Guna Hanata Diprana, disebutkan bahwa jabatan pengabdian beliau yang terakhir adalah Ketua RT 01/RW XI Lingkungan Kajen, Giripurwo, Wonogiri, sampai akhir hayat.

Kajen memang kehilangan tokoh panutan. Rasa kehilangan itu ditunjukkan dengan barisan takziah yang memanjang, mengikuti gerak ambulans yang mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir di Pemakaman Umum Kampung Kajen.

Photobucket

Gerbang alam fana. Peti jenasah memasuki gerbang Pemakaman Umum Kampung Kajen. Jasad Bapak H. Oemartopo bersiap beristirahat dalam kedamaian, di sisi Tuhan. Beliau memang telah pergi jauh, sudah tak lagi ada di antara kita di dunia yang fana ini. Yang pasti, kebaikannya, akan abadi dalam kenangan mereka yang beliau tinggalkan. Sebuah pesan singkat ini menarik untuk kita simak dan camkan : Do u know abt d things which live after death? Heart-10 mins, brain-10 mins, eyes-31 mins, legs-4 hrs, skin-5 days, bones-30 days, LOVE – FOREVER.

Photobucket

Kesedihan dan keikhlasan. Kehilangan orang tercinta selalu mengguratkan kesedihan mendalam. Barangkali juga hikmah. Penyair AS, Ezra Pound (1885–1972) melukiskan duka itu, O woe, woe/People are born and die/We also shall be dead pretty soon/Therefore let us act as if we were dead already. Mungkin isi puisi itu sama maknanya dengan ujaran, “carilah kehidupan seperti kau akan hidup selamanya, tetapi carilah pahala seperti esok kau akan mati.”

Keluarga besar Bapak H. Oemartopo nampak memaknai ajaran luhur itu. Kesedihan memang tidak bisa disembunyikan. Termasuk di wajah putrinya yang anggun, Ut Pholowati, yang mudah mengingatkan sosok Ratna Doemilah, peragawati nasional era akhir 70-an. Yang pasti tidak ada isak tangis darinya. Juga dari keluarga lainnya. Karena mereka tahu bahwa suami, ayah dan eyang tercinta mereka kini telah memperoleh tempat yang layak disisiNya.

Photobucket

Doa selalu beliau nantikan. Rabu, 5 November 2008, sekitar jam 15.00 WIB, upacara pemakaman Bapak H. Oemartopo telah berlangsung secara paripurna. Ikut menjadi saksi adalah adik beliau, Bapak Oemarsono, mantan Bupati Wonogiri dan Gubernur Lampung. Dipimpin Bapak Slamet Sadono, para takziah melantunkan doa kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, agar almarhum kini senantiasa damai dan tentram di haribaanNya.

Memang hanya doa kini yang beliau harapkan dari keluarga, untuk mampu menautkan bahwa cinta beliau kepada sesamanya akan senantiasa hidup dalam hari-hari kehidupan kita selanjutnya.

Sementara untuk keluarga besar H. Oemartopo, meliputi Ibu Sunarni, Ibu Sri Suyamti, Ut Pholowati/Moch Subhan Kenedi, Puguh Aldoko Putro/Rita Subekti, Aldoko Dwi Rodo Punggung, serta para cucu yaitu Kentari, Ibel, Rehan, Rara, semoga senantiasa diberi keteguhan iman dalam mengantar Bapak Oemartopo menghadap Sang Khalik.

Selamat jalan Pak Oemar.


(Bambang Haryanto)

kkk

Rabu, 27 Agustus 2008

Tito Bhawarto Bawa Bundas Liga Juara

14 Agustus 2008. Warga Kajen memadati lapangan Belik. Karena mereka akan melihat jagoan-jagoan futsal Kajen berlaga meraih juara. Pada partai utama sore itu akan ditandingkan tim futsal Bundas Liga yang diperkuat Tito Sepriadi, Eko dan Taufik melawan tim M2X yang diawaki Wahyu, Sandi dan Gilang.

Pertandingan sore itu benar-benar panas, seru dan lucu. Karena tim Bundas Liga rata-rata anak usia SMA sedangkan tim M2X diperkuat pemain kawakan dan berpengalaman. Namun Dewi Fortuna masih berpihak pada tim Bundas Liga.

Tito Sepriadi, sang kapten, berhasil menjebol gawang M2X. Tak lama berselang Tito berhasil lagi menjebol gawang tim lawan. Eko juga menyumbang gol untuk timnya. Saat akan turun minum lagi-lagi Tito mencetak gol. Hingga turun minum skor masih 4-0 untuk Bundas Liga.

Bundas Liga kritis. Saat babak kedua dimulai, permainan M2X semakin keras. Karena mereka menanggung beban mental yang disebabkan mereka kalah dari tim sekelas Bundas Liga, padahal mereka merupakan jebolan dari Perdikan U-19. Pola permainan keras mereka berhasil menjebol gawang Bundas Liga.

Yang menakjubkan tim M2X berhasil menyamakan kedudukan antara lain lewat pinalti yang dialgojoi Sandi. Pinalti terjadi karena Topik mentakling Wahyu di kotak terlarang.

Saat kedudukan sama Tito dan kawan-kawan lebih bersemangat dan ikut bermain keras. Eko akhirnya berhasil mencetak gol setelah mengecoh dua pemain. Tiga menit kemudian Topik berhasil mencetak gol lewat tendangan gawangnya. Puluhan Bundas Mania yang dipimpin Bhowi Dewananda terus menyanyi, meneriakkan yel-yel dan menabuh drum.

Saat babak kedua mendekati usai, Tito mencetak gol lagi. M2X benar-benar dipermalukan dan mereka sangat kecewa. Sesaat kemudain wasit meniup peluit tanda pertandingan usai. Akhirnya Bundas Liga berhasil sebagai pemenang dengan skor 7-4. Sang kapten tim, Tito, didaulat sebagai Best of The Best, karena menjadi pemain yang paling subur dalam menyarangkan gol.

Foto : Tito (kiri) bersama Eko dan hadiahnya sebagai juara.

(Liputan dari Gelora Belik Kajen oleh Tito Bhawarto pada putaran final Lomba Futsal Berdaster Memperingati HUT Kemerdekaan RI Ke-63 di Lingkungan Kampung Kajen, Giripurwo, Wonogiri, 14 Agustus 2008).


kkk

Senin, 18 Agustus 2008

Kajen, Agustus 2008 dan Pesta Rakyat Semesta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kajenku (at) gmail.com



Pesta para juara. Agustus adalah untuk rakyat dan pulau-pulau kecintaan mereka. August for the people and their favourite islands. Demikian sebuah judul puisi tahun 1936 dari penyair Inggris, W.H. Auden (1907-1973).

Judul puisi yang menarik. Bagi kita bangsa Indonesia, judul itu mungkin lumayan relevan. Karena tiap bulan kedelapan ini kita sebagai bangsa Indonesia senantiasa merayakan hari kemerdekaan kita sebagai bangsa. Terima kasih kepada Soekarno-Hatta, juga para pejuang lainnya, sebagai pendiri republik ini.

Tetapi tentang pulau-pulau favorit dari judul puisinya W.H. Auden itu, kira-kira apa relevansinya ? Tidak usah jauh-jauh. Indonesia senyatanya adalah negara kepulauan, archipelago, terbesar di dunia. Semua pulau itu menjadi favorit, menjadi kecintaan, bahkan diyakini sebagai tumpah darah warganya. Maka di bulan Agustus ini kita sebagai warga Indonesia layak untuk meneguhkan perasaan cinta itu. Cinta tanah air. Cinta bangsa. Cinta Indonesia !

Kampung Kajen, tidak ketinggalan dalam ikut menyemarakkan pesta Agustusan. Inilah bulan favorit bagi anak-anak, juga warga yang merasa memiliki semangat berkompetisi secara jujur, menjunjung sikap ksatria, untuk berprestasi dan tampil sebagai juara.

Nuansa lomba memenuhi udara. Sejak awal Agustus, selain jalan utama kampung dihiasi gapura, udara sore pun juga berbeda. Mengambil medan utama di lapangan voli dekat Belik, telah dilangsungkan beragam acara perlombaan. Dari arena ini bergema laporan pandangan mata setiap mata acara, yang disiarkan dengan pengeras suara. Acara penting lainnya, jalan santai warga mengambil tempat di kompleks SD Muhammadiyah. Daftar para juara lomba tersebut adalah :

Hasil Lomba Untuk Anak-Anak. Lomba Lari Karung : Juara 1, Fafa (Rt 01/RW XI), Juara 2, Nuraini (01/XI) dan Alfan. Lomba Memasukkan Belut Dalam Botol : Ibnu (01/XI), Yoga (02/X) dan Rian (03/XI). Lomba Ambil Koin Dalam Melon : Ibnu (01/XI), Rian (03/XI) dan Nanok. Lomba Memasukkan Bola Ke Dalam Ring : Dewa (01/XI), Ibnu (01/XI), dan Deni (01/X). Lomba Lari Karung Dilanjutkan Memasukkan Belut Dalam Botol : Ibnu (01/XI), Fafa (01/XI) dan Aldi (03/X).


Hasil Lomba Untuk Umum. Lomba Pukul Bantal Di Atas Kolam : Juara 1, Yudi ; Juara 2, Narto ; Juara 3, Dea. Lomba Lari Karung Putra : Dea, Dwi dan Rio. Lomba Lari Karung Putri : Yanti, Dian dan Tutik Giyono. Lomba Bakiak Putra : Gogek cs, Restu cs, dan Gilang cs. Lomba Bakiak Putri : Tutik Giyono cs dan Desi cs.

Lomba Sepakbola 3 on 3 Putra : Klanthang Mimis, Sukun dan RNB. Lomba Sepakbola 3 on 3 Putri : Ronaldowati, Bob Marley dan Family Fun. Lomba Lari Kampung : Nanang, Rio, dan Tito. Lomba Trethek : Banon cs (02/X), Suwarso Suwito cs (01/XI) dan Jayanti cs (01/XI).

Lomba Nyanyi Diiringi Electone : Fatiah (02/X), Atik (01/XI), Sari (01/XI). Sri Mulyaningsih (01/XI) didaulat sebagai penyanyi favorit.


Lomba Nyanyi Anak Negeri. Hari Senin Malam, 18 Agustus 2008, perhatian warga Kajen terserap ke panggung hiburan. Berlokasi di jalan masuk utama kampung ini. Dengan panggung bernuansakan rural, ada foto Bung Tomo secara heroik meneriakkan semangat perjuangan, dengan latar warna tosca dan tulisan pink, maka acara kesenian pun digelar. Yaitu lomba nyanyi dan lomba trethek.

“Ada enam puluh ribu warga memadati acara ini,” kata Heriyanto Tarsan, sang pembawa acara. Anda jangan percaya. Angkanya masih jauh dari jumlah fantastis itu. Tetapi Anda jangan ragukan semaraknya. Juga seriusnya.

Dewan juri untuk kedua jenis lomba tersebut terdiri dari Bapak Hengki (“yang kakak dari Edo Kondologit,” begitu cetus bombastis sang pembawa acara), Ibu dra. Yenny Nasution (“yang bagai bulan, dengan suara menawan”) dan Bapak Kelik Shokeh. Acara bernuansa kompetitif antarwarga itu dapat berlangsung secara santai dan meriah, berkat ramuan guyonan dan glenyengan yang akrab bagi seluruh hadirin, yang disajikan Heriyanto Tarsan.

Ia adalah sang pembawa acara segala musim. Musim kedondong, musim mangga, sampai musim duwet. Dan cocok untuk segala kegiatan dari kampung Kajen. Terutama liputan olahraga. Spesialisasinya : olahraga panjat pinang, panjat tebing dan panjat pohon mangga milik tetangga (ketika kecil dulu). Liputan foto dan catatan ringan warna-warni lainnya tersaji di bawah ini :

Photobucket

Hiburan untuk semua. Acara kesenian tiap Agustus, termasuk lomba tarik suara juga dimanfaatkan warga kampung Kajen untuk bersantai dan bersosialisasi. Sajian musik dangdut oleh sebagian peserta lomba senantiasa memancing sebagian pengunjung untuk berjoget bersama. Bahkan para maniak joget ini menyatakan siap menjiwai semangat 17 Agustus dan siap beraksi joget pula selama tujuh belas hari dan tujuh belas malam pula !

(Catatan : Ketularan bahasa hiperboliknya sang emcee, yakni Mas Tarsan yang sering di muka publik menyebut hadiah total bagi pemenang lomba kelas kampung Kajen dengan nilai total milyaran rupiah :-))

Photobucket

Sang Primadona. Fatiah, sang juara pertama lomba nyanyi diiringi electone ini memiliki vokal prima, ekspresi menawan dan keterpaduan suara yang diatas rata-rata dibanding peserta lainnya. Misalnya peserta dari kelompok senior yang sering disebut sebagai kelompok “Sepasang Mata Bola” dan “Jembatan Merah,” yaitu Ibu Margono, Ibu Nur Martoyo, Ibu Giarni dan Ibu Bawarsi.

Peserta lainnya, Edytune, Ika, Edi, Niken, Bela, Alinia, Galuh, Hayu Winarsi, Pahala, Sari, Rutin, Sri Mulyaningsih, Uci, Yuriko Novean Mahendra, Atik dan Bambang Tetuko. Malam itu, Fatiah yang putri Ibu Alam Nasution ini benar-benar menjadi sang primadona !

Photobucket

Apuse Campur Reog. Istilah nrethek saya dengar dari ibu saya untuk menggambarkan sesuatu keluarga yang kesulitan menyediakan kebutuhan pokok dan meminta bantuan dari tetangga. Tetapi sekarang istilah nrethek mengacu kepada sajian musik para peronda malam.

Kelompok Banon dan kawan-kawan yang menyabet juara pertama ini secara kreatif menggabungkan musik kentongan khas peronda, lagu pop, lagu rakyat Apuse, dan penonton terpesona karena juga disuguhi aksi teatrikal pemain topeng ganong yang diambil dari khasanah kesenian reog. Bener-bener komplit, Mas Banon !

Kelompok ini mengungguli peserta lain, yaitu kelompok yang dikomandani Suwarso Suwito, didukung Suharto dan maestro ronda Kajen Bapak Giyadi, juga kelompok Jayanti cs yang unik sebagi penyaji trethek karena semua anggotanya terdiri dari kaum perempuan.

Photobucket

Mendongkrak motivasi. Pesta ulang tahun kemerdekaan adalah pesta kita semua. Tidak terkecuali generasi muda, yang bahkan masih duduk di sekolah dasar untuk ikut berperanserta. Nampak host Heryanto Tarsan berbincang di panggung dengan peserta lomba termuda, Rutin, yang mewarisi darah Pak Madyo dan masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Keberaniannya untuk tampil patut memperoleh pujian dan dorongan.

Photobucket

Atik Yang Membara. Menggoda. Seronok. Kaya warna. Itulah tampilan juara kedua lomba nyanyi, Atik. Lengkingan suara yang lantang, terjaga dan goyang pinggul yang tak kalah hot dari penyanyi profesional, membuat malam Kajen serasa membara.

Photobucket

Suara kelembutan. Di tengah pesta bernuansakan kemerdekaan semua orang bebas berekspresi. Sebagaimana layaknya remaja, Sari, malam itu menyuguhkan lagu cinta yang menawan. Ia pantas memenangkan hadiah sebagai juara ketiga.

Photobucket

Komplit dan favorit. Dalam sehari-harinya warga Kajen tak kaget melihat mBak Sri Mulyaningsih terlibat dalam beragam kegiatan. Misalnya sebagai perangkat acara pencoblosan dalam Pilgub Jawa Tengah 2008, disamping sehari-harinya sebagai penjual beragam kudapan yang lezat di Pasar Wonogiri. Ia pun cakap dalam menyanyi dan rutin ikut lomba setiap acara Agustusan tiba. Tahun ini ia memenangkan juara sebagai penyanyi terfavorit !

Photobucket

Sound engineer andalan. Madonna, Sherina, Mulan Kwok sampai Kris Dayanti, boleh saja memiliki suara indah. Tetapi kalau peranti keras untuk penyajian suara mereka tidak bagus, jebloklah penyajian mereka. Acara lomba dan pagelaran musik berlangsung mulus antara lain berkat tangan dingin Bapak Suparno (foto) sebagai peƱata suara.

Sebelumnya telah dikenal sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang listrik, pembuat pengeras suara yang mampu menyaingi teknologi Marshall atau Lansing, aktif juga sebagai tukang pijat (khusus untuk mBak Tien, bukan hendak menyaingi Mas Gito), dan multi keterampilan lainnya, walau nampaknya tidak ada bakatnya sebagai tukang santet. Pria asal Cepogo, Boyolali ini, juga dikenal sebagai tukang tolak bala andal sehingga lahar Gunung Merapi tidak sampai mengalir sampai Kajen, Wonogiri, sampai saat ini !

Sejak awal Agustus dirinya memang telah bekerja keras dalam mengatur performa peranti keras itu berhari-hari sebelumnya. Tentu saja bersama soundmaster tester yang tak kalah jeli dan andal, Bapak Eko “Testing, Testing” Winarso. Tentu saja, ikut terlibat ahli lainnya : Bapak Giyadi.

Itu tentang suara. Segi visual pertunjukan tak kalah vital. Graphic designer andalan Kajen dari Just Du It Corporation, Jumplong, telah bertanggung jawab secara berhasil dalam menata panggung pertunjukan. Demikian pula pengelolaan segala pernik administrasi kepanitiaan yang digalang oleh Bapak Haryono, Bapak Supri, Mas Sigit dan kawan-kawan, membuat segala program telah berjalan secara semestinya.

Dengan arahan Bapak Suroto sebagai Kaling Kajen, Bapak H. Oemartopo sebagai sesepuh, juga ketua panitia, Drs. Jauhari Makmuri, M.Ag, dan peran serta yang aktif dari seluruh warga, membuat kerjasama beragam keterampilan dan sumber daya warga Kajen itu membuahkan prestasi yang patut untuk dikenang, diteladani, dan menantang untuk bisa semakin ditingkatkan.

Dirgahayu, Kajenku.
Dirgahayu, Indonesiaku !


Kajen, 18-20 Agutus 2008


kkk

H. Oemartopo : Pesan Kemerdekaan RI 2008

Merdeka !

Sesepuh kampung Kajen, sekaligus Ketua RT 01/RW 11 Kajen, Bapak H. Oemartopo nampak bersemangat menyambut acara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63 di kampung Kajen.

Ditemui oleh Bambang Haryanto, blogger Kajen, beliau memberikan banyak pesan. Walau mengaku dalam keadaan kurang sehat, beliau tetap bersemangat layaknya pejuang di masa perjuangan.

Usianya yang melampui angka 70 tahun, pengalamannya sebagai budayawan, dalang dan etnomusikolog yang kenyang dengan perjalanan mengelilingi dunia, mampu memberikan kepada kita wawasan yang berharga. Terutama bagi warga Kajen dan warga Indonesia dalam mengarungi masa depan.

Dalam kesempatan bersejarah itu, beliau menitip pesan kepada warga Kajen untuk tabah dan tawakal dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Serta tetap berjuang mengisi kemerdekaan. Bukan dengan perang lagi, tetapi dengan bekerja dan berkarya.

Seperti isi pesannya tahun lalu, beliau tetap konsisten bahwa bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari ancaman para koruptor. Mereka-merekalah itu yang berpotensi menenggelamkan negara dan bangsa Indonesia. Diharapkan bangsanya semakin cerdas dan berani memerangi penyakit bangsa yang kronis ini. Saya mendukung diberlakukannya hukuman mati bagi koruptor, tegasnya. Generasi muda harus menjadi bagian untuk memerangi ancaman besar satu ini.

Merdeka !

Minggu, 17 Agustus 2008

Kajen Merayakan Kemerdekaan RI Tahun 2008

Photobucket

Pertama kali. Pintu masuk kampung Kajen menjadi semarak menjelang Agustus 2008. Untuk pertama kali kampungku ini memajang gapura menyambut hari ulang tahun kemerdekaan RI ke 63. Upaya yang membanggakan dari Mas Parno, Mas Eko, Sigit, Jumplong, Tarzan serta kawan-kawan aktivis kampung yang militan.

Acara tahunan itu juga diramaikan dengan pelbagai lomba yang melibatkan seluruh warga kampung. Venues utama dilaksanakan di lapangan volley dekat belik, sisi timur kampung yang berbatasan dengan aliran Bengawan Solo ini. Laporan pandangan mata yang dipancarkan dengan pengeras suara memberi warna meriah setiap sore di kampung dinamis ini.

Selasa, 08 April 2008

Tamu dari Perancis : Jeff Francois Coctaz

Si Paimin dari Perancis. Blog ini ditulis dari kampung Kajen, Giripurwo, Wonogiri. Kalau Anda ingin tahu tentang Kajen, mohon maaf, silakan Anda pergi dahulu ke Paris, kota cahaya, yang ibukota Perancis.

Kunjungilah kantor kedutaan besar Republik Indonesia. Di sana silakan temui salah seorang pegawai lokalnya. Ia bernama : Jeff Francois Coctaz. Kepada mantan anggota angkatan laut Perancis dan lulusan antropologi ini, sapalah ia dengan bahasa Jawa. Atau bila ingin cepat lebih akrab, panggil saja dengan sebutan Mas Paimin.

Lalu tanyakanlah hal seputar Kajen kepadanya. Tanyakan tentang wayang, karena ia seorang dalang. Tanyakan apa ia masih ingat nama Bapak Oemartopo. Nama mBak Nur. Bapak Suroto yang Kaling Kajen. Ibu Sumarni Mulyarto. Mas Mulyadi. Juga masing-masing nama anak keluarga almarhum Kastanto Hendrowiharso.

Karena pada tahun 70-an Jeff Coctaz, pernah agak lama tinggal di rumah keluarga Kastanto sebagai sahabat Bari Hendriatmo, salah satu anak keluarga ini. Sejak itu Jeff ibarat sebagai warga Kajen yang kini sedang mengembara di Perancis.


Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Warga Kajen. Nampak Jeff bersama anak-anak sanggar melukis anak-anak Brigade Kelompok Kecil (BKK) Wonogiri. Di ujung kanan, bertopi, adalah pendiri BKK, Mayor Haristanto.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Saksi sejarah. Jeff bersama Bari sedang menyalami warga Trah Martowirono yang lagi berbahagia, yaitu Mas Untung Suripno dan Ibu Eri pada hari pengantin mereka di Prambanan, Yogyakarta. Kejadian itu sudah berlangsung 25 tahun lalu, karena di tahun 2007 yang lalu Mas Untung-mBak Eri baru saja merayakan pesta perak perkawinannya.


Berkunjung ke Kajen. Walau pun tidak intensif, saya (Bambang Haryanto) masih bisa kontak dengan Jeff melalui email. Hal itu berlangsung sejak tahun 2003, saat ia mengunjungi Kajen. Sore itu banyak sekali warga Kajen, juga anak-anak kecil, merubung untuk menemui saudara bule mereka yang lama tidak ketemu.

Hari Jumat sore, 28 Maret 2008, ia muncul lagi di Kajen. Ia ditemani Mas Widodo Wilis, dalang dari Ngadirojo. Jeff cerita sudah mengontak adik-adik saya, bahkan bisa ketemu dengan Broto Happy W. (wartawan BOLA) di Bogor. Juga kontak dengan Bari di Jember dan Mayor Haristanto di Solo. Sebelumnya ia sudah sampai di Sulawesi. “Aku balik ke Perancis, 4 April 2008,” katanya.

Sore itu, Jeff yang nampak necis (“koyo diplomat,” kataku dan ia tertawa), sempat menemui mBak Marni Mulyarto untuk menanyakan Ganefo (putranya) yang kini bekerja di Kendari. Juga bersilaturahmi dengan Bapak/Ibu Sunarso, depan rumahku. Tak lupa glenyengan menyalami anak-anak kecil Kajen. Ketika ia berjalan diapit temen cewek Perancis dan istrinya Mas Widodo ia bilang, “koyo Janoko.”

Saya rada iri dan kagum sama dia. Jeff ini dalam bahasa Jawa disebut grapyak, murah hati dan suka ngobrol, bertegur sapa. Banyak temannya. Wong Perancis tetapi guyonannya, jiwanya, sudah sebagai wong Jowo. Sore itu ia juga menemui budayawan dan tokoh pedalangan, Bapak Oemartopo.

Sayang, saat itu kamera digitalku lagi kehabisan bateri. Saya berharap Jeff bisa mampir lagi di Wonogiri, katanya mau nonton wayang, sehingga aku bisa memotretnya. Tak kesampaian. Ia kirim SMS :

“Mas Bambang, maaf baru baca sms anda. Saking banyak sms saya sdh tidak tahu lagi. Sya sdh di bandara Yogya utk menuju Surabaya. Waktunya terlalu cepat berlalu. Terima kasih dan tolong sampaikan salam kepada orang yg saya tidak sempat ketemu. Jeff.” (Senin, 31 Maret 2008 : 12.17.23).

Au Revoir, Jeff !


kkk

Jumat, 14 Maret 2008

Bambang Haryanto : Seminar Jurnalisme Warga, UNS, 28/2/2008

Orang Kajen di Kampus UNS Lembaga Pers Mahasiswa VISI dari FISIP UNS Sebelas Maret Solo mengadakan seminar nasional bertopik “Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” pada tanggal 28 Februari 2008 di Kampus UNS, Kentingan, Solo.


Photobucket

Seminar yang informasinya dimuat di harian Kompas Jawa Tengah 28/2/2008 (foto) telah dihadiri seratusan mahasiswa dan khalayak pemerhati dunia pers menghadirkan pembicara Ana Nadya Abrar, dosen Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta, Aulia A. Muhammad, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews dari Semarang dan Bambang Haryanto, pendiri komunitas penulis surat pembaca Epistoholik Indonesia (EI) dari Kajen, Wonogiri. Laporan selengkapnya dapat Anda klik di sini.


Photobucket


Photobucket

Keterangan foto : Atas : (ki-ka) Annissa, mahasiswa FISIP UNS sebagai moderator seminar, Ana Nadhya Abrar, Bambang Haryanto dan Aulia A. Muhammad. Bawah : Bambang Haryanto sedang mempromosikan manfaat menulis surat pembaca dan mengelola blog sebagai wahana keterlibatan warga secara aktif dalam perbincangan publik.


kk

Selasa, 04 Maret 2008

Bapak Maryomo Telah Menghadap Allah

Nostalgia Radio Philips. Peristiwa reuni satu ini dapat terjadi tanpa direncanakan karena hal itu terjadi karena kekuasaan Yang Di Atas semata. Bukan di hotel atau gedung pertemuan, tetapi di pekuburan.

Harinya, Sabtu Pon, 1 Maret 2008. Peristiwanya, saat mengantar Bapak Maryomo ke peristirahatan yang terakhir, di pemakaman umum Kajen Wonogiri. Saat itu saya (Bambang Haryanto) dapat bertemu dengan Hargiyanto dan juga Bambang Sadoyo. Keduanya adalah teman masa ketika bersekolah di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1967-1969. Bambang Sadoyo, atau dikenal dengan sebutan Mas Gembuk, adalah putra kedua dari almarhum Bapak Maryomo.

“Radio Philips-nya Bapak apa masih ada, Mas ?,” tanya saya kepadanya. Ia jawab, “radio dengan enam batu (baterai),” dan disusul dengan gelengan kepala. Masa lalu, masa kecil di kampung Kajen pun kembali berparade di benak. “Ketika Bung Karno berpidato, warga Kajen akan berkumpul di depan rumah Pak Maryomo untuk mendengarkannya,” timpal Hargiyanto yang sering dipanggil sebagai Giman atau Gimanclung.

Rumah-rumah kami berjarak radius 100-an meter, walau keduanya tinggal di Kajen Kulon (Barat) dan saya di Kajen Wetan (Timur). Rumah Giman sering dijadikan sebagai tempat latihan main band. Sedang di depan rumah Mas Gembuk tumbuh pohon asam yang besar dan rimbun, tempat kami anak-anak Kajen yang nggragas mencari buah-buah asam untuk dimakan.

Giman adalah teman satu kelas di Klas II A SMP Negeri Wonogiri. Juga teman memancing. Ia dan Mas Gembuk diam-diam saya kagumi saat kecil itu karena keduanya bisa bermain musik, bermain gitar.

Mungkin karena kekaguman itulah, demikian juga pengakuan Hargiyanto, mendaulat Mas Gembukl sebagai pemimpin selera. Sabuk atau ikat pinggangnya yang berkepala tulisan “007” alias kode rahasia agen James Bond yang modis karena dapat berganti-ganti warna, saat itu telah membuatku ikut-ikutan untuk memilikinya. Tetapi juga ada “sisi hitam” darinya, ia juga seorang mentor yang membujuk dan mengajak kami berdua untuk merokok saat di SMP itu. “Rokoknya cap Salak,” kataku. “Cap Menara,” timpal Hargiyanto. Kedua murid merokoknya Mas Gembuk itu sekarang sudah berhenti merokok, tetapi nampaknya sang mentor justru belum berhenti.

Radionya Pak Maryomo, bagiku, sangat berkesan mewarnai masa kecil itu sebagai sarana untuk mengikuti laporan pandangan mata pertandingan sepakbola. Saat itu boleh disebut beliau sebagai satu-satunya pemilik radio di Kajen. Radio yang masih berteknologi tabung. Model radio transistor belum hadir. Bentuknya besar, warnanya kayu, kecoklatan.

Radio tersebut sedikit banyak juga berjasa mengantar dan memupuk kecintaan saya untuk menulis. Karena seperti saya kisahkan tiga tahun lalu di blog Esai Epistoholica dengan judul Radio Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik, sesudah mendengarkan siaran radio itu saya terus merekonstruksikan apa yang saya dengar dalam bentuk sebuah reportase.


Photobucket

Langit cerah> Mega putih berarak dan langit cerah memayungi suasana upacara pemakaman Bapak Maryomo Di kampung Kajen Bapak Maryomo dikenal dengan rambutnya yang memutih dan selalu nampak sehat sehat itu, tutup usia sampai 94 tahun. Beliau wafat hari Jumat Pahing, 29 Februari 2008, jam 15.30 karena sakit tua di Premban, Klumprit, Mojolaban, Sukoharjo. Sudah puluhan tahun beliau meninggalkan Kajen, tetapi hatinya tetap sebagai warga Kajen, dan kini bersemayam damai disamping makam Ibu Maryomo yang lebih dahulu mendahului pulang ke haribaan Illahi.


Photobucket

Mengantar Ayah Istirahat. Suasana pemakaman sedang berlangsung. Nampak Bambang Sadoyo (nomor tiga dari kanan) dan Suciwati (putri terkecil, nomor lima dari kanan) mengikuti dengan takjim upacara pemakaman ayah tercinta.

Photobucket

Berdoa Untuk Ayah. Almarhum Bapak Maryomo dikaruniai empat putra-putri dan cucu-cucu. Yaitu Mutmainah – Muh. Saleh (Bekonang), Bambang Sadoyo-Wiwin (Wonogiri), Mastuti – Sutantono (Wonogiri) dan Suciwati – Endro Sulistyo (Wonogiri). Nampak putri pertama, Mutmainah, sedang khusuk berdoa.


Photobucket

Bunga dan Doa. Upacara pemakaman yang khidmat telah dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono. Banyaknya kerabat, handai taulan dan kenalan yang mengantar Bapak Maryomo menghadap Sang Khalik ditandai dengan derasnya gema doa dan taburan bunga. Kini tinggal lantunan doa-doa dari anak cucu yang selalu beliau harapkan, sehingga beliau senantiasa memperoleh ketenteraman abadi di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

PS : Terima kasih untuk Mas Luluk dan Keluarga yang telah membantu memberikan informasi untuk penulisan obituari ini.

Sugeng tindak, Bapak Maryomo. Mugi panjenengan pikantuk rahmat lan pangayoman saking Allah SWT. Amin.


kkk

Senin, 25 Februari 2008

Bapak Suratmo Telah Tiada

Hujan pun reda. Kampung Kajen kembali kesripahan, kehilangan salah satu warganya yang dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat upacara menjelang pemberangkatan jenazah dari rumah duka, hujan sempat turun. Tetapi hujan itu reda ketika peti jenazah mulai bergerak menuju Pemakaman Umum Kajen.

Bapak Suratmo (foto) sempat menderita sakit dan dirawat di RSU Dr. Oen Solo Baru. Ikhtiar mencari kesembuhan yang diupayakan oleh keluarga tenyata harus pupus pada kehendak Illahi. Manusia wajib ikhtiar, tetapi kuasa Allah yang menentukan. Beliau meninggal dunia pada hari Minggu Pahing, 24 Februari 2008, Jam 23.30 Wibb. Bapak Suratmo memenuhi panggilan Allah pada usia 46 tahun.

Photobucket

YANG KEHILANGAN. Karangan bunga dari Perum Pegadaian Kanwil VIII Surakarta dan Perum Pegadaian Cabang Wonogiri ikut mengantar kepergian salah satu karyawannya menghadap Sang Khalik. Ucapan empati ini juga mampu memberikan kekuatan dan ketegaran bagi keluarga yang ditinggalkan.


Photobucket

TENTRAM DI ALAM BAKA. Peti jenazah nampak diusung melewati pintu gerbang Taman Pemakaman Umum Kajen. Rumah Bapak Suratmo hanya terpisah tembok dengan TPU ini, tetapi karena kehendak Allah semata beliau kini berada di alam baka yang dapat dijangkau dengan lantunan doa keluarga dan para handai taulan. Semoga Bapak Suratmo tenteram disisiNya.


Photobucket

DOA-DOA. Upacara pemakaman dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono, yang dengan khusuk mengantar dan mengajak para pelayat untuk bersama-sama berdoa dengan harapan agar almarhum Bapak Suratmo diterima di sisi Allah, sesuai amal perbuatannya selama hidup beliau di dunia.


Jenazah karyawan Perum Pegadaian Cabang Wonogiri ini dengan diantar rekan kerja, warga Kajen, kenalan dan handai taulan, dikebumikan di Pemakaman Umum Kajen, pada hari Senin Pon, 25 Februari 2008. Ketua Lingkungan (Kaling) Kajen, Bapak Suroto, bertindak sebagai pengatur jalannya upacara pemberangkatan jenazah dan Bapak Slamet Sadono memimpin upacara pemakaman. Semuanya berjalan tertib dan khidmat.

Semoga arwah Bapak Suratmo memperoleh tempat yang layak disisiNya. Dan keluarga yang ditinggalkan, yaitu Ibu Esti Siwiyanti (istri, karyawati PT Air Mancur Wonogiri), putra-putri meliputi Danang Prasetyo (pelajar SMK Pancasila Wonogiri) dan Hanik Prakoso (pelajar SMPN 6 Wonogiri), keluarga Suratni-Widodo (kakak, Surakarta), Suratmi (kakak, Wonogiri), Suratto-Tugiyanti (adik, karyawan Perum Pegadaian Sleman, Yogyakarta), Sulistyo (adik, Wonogiri) dan Eko Yulianto-Surahmi (adik, Wonogiri), senantiasa dikaruniai Allah dengan pahala ketabahan dan kesabaran.

Turut berduka cita, keluarga besar Perum Pegadaian Cabang Wonogiri, keluarga besar Perum Pegadaian Kanwil VIII Surakarta dan warga Kajen RT 01/XI, Giripurwo, Wonogiri. (Bambang Haryanto).


kkk

Selasa, 19 Februari 2008

Istirahat Dalam Damai : Yohanes Suyanto HS

Warga Sanjaya. “Asalnya dari tanah, kembalinya juga menjadi tanah,” demikian pengantar Bapak Ag. Soegino ketika memimpin upacara pemakaman secara Katholik bagi jenazah Bapak Yohanes Suyanto HS. Beliau meninggal dunia dalam usia 58 tahun, pada hari Selasa Pahing, 19 Februari 2008, Jam 06.15 di rumah Kajen Rt 01/RW X Giripurwo, Wonogiri.

Bapak Drs. A.K. Djaelani yang mewakili fihak keluarga dalam upacara pelepasan jenazah, mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada semua pelayat yang telah sudi hadir memberikan tanda cinta juga rasa kehilangan atas wafatnya almarhum. Tidak lupa atas nama keluarga, beliau memohonkan maaf yang sebesar-besarnya apabila ketika hidupnya almarhum telah berbuat kekhilafan. Dalam kesempatan menyampaikan ucapan tersebut Bapak Drs. A.K. Djaelani didampingi putra almarhum, Thomas Joko Susilo dan Paulus Bambang Sumardi.

Sementara itu Sekretaris Kelurahan Giripurwo, Bapak Syarif Usman, yang mewakili keluarga besar warga Kalurahan Giripurwo menyatakan ikut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya bagi keluarga yang ditinggalkan. Yaitu Ibu Sri Endang Winarni (istri), juga putra/putri meliputi Th. Yayuk Sri Utami-Sugeng, Thomas Joko Susilo dan Paulus Bambang Sumardi beserta cucu.

Jenazah Bapak Yohanes Suyanto HS dimakamkan di Pemakaman Umum Lomanis, Giripurwo, tanggal 19 Februari 2008, Jam 13.00. Turut berduka cita antara lain warga keluarga besar lingkungan Kajen Rt 01/RW XI Giripurwo dan juga keluarga besar lingkungan Sanjaya Paroki St Yohanes Rasul Wonogiri. Seluruh rangkaian upacara tersebut telah diatur secara seksama oleh Ketua Lingkungan Kajen, Bapak Suroto.

Beristirahatlah dalam damai, Bapak Yohanes Suyanto HS.

(Bambang Haryanto).


kkk

Kamis, 14 Februari 2008

Kunthil Telah Pergi

Kurir Kajen Telah Tiada. “Kajen kehilangan penyebar informasi,” begitu kata Bapak Suroto, Ketua Lingkungan (Kaling)Kajen. Juga seseorang yang sering ditemui para peronda. Ia merujuk warga Kajen yang rajin menyambangi rumah per rumah untuk mengabarkan bila ada warga Kajen yang kesripahan. Warga termaksud bernama Sudarsono (foto) atau yang berjulukan akrab di kampung dengan sebutan Kunthil.

Kunthil yang kelahiran Wonogiri 10 Januari 1956 itu telah dipanggil Sang Pemilik Kehidupan, Rabu Legi, 13 Februari 2008, jam 14.00. Dalam upacara mengantar pemakaman pria berusia 52 tahun itu, Bapak Sularto, BA yang sehari-harinya menjabat sebagai Ketua RW XI Kajen, mewakili fihak keluarga. Juga hadir dan memberikan sambutan adalah Lurah Giripurwo, Bapak Marsudi, SIP.

Sementara itu Bapak Slamet Sadono sebagai pemuka agama di Kelurahan Giripurwo yang memimpin upacara di pemakaman, mengharap keluarga yang ditinggalkan tetaplah tabah dan tawakal. Keluarga itu adalah Ibu Suyati Soleman (orang tua), beserta Sudarso, Agus Daryono, Daryanto, Joko Sudarno dan Sutiyarso.

Diiringi doa keluarga besar dan warga Kajen Rt 01/XI, Sudarsono dimakamkan di Pemakaman Umum Kajen, Kamis Pahing, 14 Februari 2008. Selamat beristirahat disisiNya, Mas Darsono. Doa seluruh warga Kajen mengantar kepergianmu. (Bambang Haryanto).

kkk

Rabu, 16 Januari 2008

Telah Berpulang : Ibu Surasni Hadi Soebroto

Istirahat di Lomanis. Bulan Januari yang berhujan ini telah mengantar kepergian Ibu Surasni Hadi Soebroto (foto) untuk menghadap Sang Khalik. Semoga Tuhan Yang Maha Esa menempatkan beliau secara sejahtera di sisiNya.

Saya mengenal beliau saat saya duduk di Sekolah Dasar Negeri Wonogiri 3, tahun 1960-an. Beliau adalah ibu dari Sugeng Sudewo, teman saya di SD tersebut. Rumahnya terletak di kawasan yang kami sebut saat itu dengan rasa hormat, Perumahan Rakyat. Sebutan ini menandakan sebagai perumahan pegawai negeri, kawasan elit, dengan bentuk berstandar bagus, tembok, sementara rumah kampung Kajen saat itu langka memiliki bangunan yang bertembok.

Saya (di foto, kanan) sering main ke rumahnya Dewo untuk main pingpong. Juga mencari buah-buahan, seperti jambu. Sekadar nostalgia, bagi anak-anak Kajen yang nakal dan nggragas, kawasan Perumahan Rakyat merupakan kawasan empuk untuk “digerilya” tanaman buah-buahannya. Saya juga mengobrol dengan Dewo karena memiliki minat sama : membaca buku-buku cerita. Ia memiliki koleksi buku cerita Bende Mataram-nya Herman Praktikto. Sementara saya memiliki koleksi Nogososro-Sabukinten, karya Singgih Hadi Mintardjo.

Saya dan Dewo, juga bersekolah di SMP yang sama, SMP Negeri 1 Wonogiri. Tak pernah bersama dalam satu kelas hingga lulus. Sejak tahun 1969, setelah lulus SMP itu, kami tak pernah bertemu. Baru bisa bertemu lagi ya kemarin itu, saat mengantar ibu Hadi Soebroto beristirahat abadi di Pemakaman Lomanis, Giripurwo, Wonogiri. “Kalau ketemu tak sengaja di jalanan, kita sudah tak bisa saling kenal,” komentar Dewo saat itu.

Tentu saja, ia benar. Waktu telah mengubah wajah seseorang. Tentu saja, menjadi lebih tua. Mudah pangling. Atau lupa. Dalam obrolan muncul tentang nama Sri Wahyono, juga teman SD kita, yang telah mendahului menghadap Allah. Mencuat juga nama Laksda (?) Gunadi. Seingatku dulu pernah menjabat sebagai pimpinan Seskoal TNI-AL. “Kini sudah pindah,” tutur Dewo. Gunadi adalah teman saat di SMP. Kepada Dewo yang kini berdomisili di Jakarta, saya titip salam untuk Mas Gunadi tadi. “Saya ikut bangga dengan prestasi dan sukses teman-teman sekolah kita,” kataku.


Wafat di Solo. Ibu Surasni Hadi Soebroto wafat dalam usia yang lanjut, 82 tahun, tanggal 15 Januari 2008, jam 13.00 di RSU PKU Muhammadiyah, Solo. Jenazah diberangkatkan dari rumah duka di Jl. Semangka I, Kajen, dan dimakamkan pada hari Rabu, 16 Januari 2008 di Pemakaman Lomanis, Giripurwo, Wonogiri.

Photobucket

Mengantar Ibu. Penguburan sedang berlangsung. Cuaca Wonogiri cerah. Di latar belakang nampak karangan bunga dari Keluarga Besar Saroso, Salak. Di pekuburan saat itu saya berbincang dengan Hargiyanto (Gimanclung), juga teman waktu SMP, bahwa dari keluarga Saroso yang TNI-AD (“teman ayahku”) itu kita mengenal nama putranya, Eddy dan Budi. Budi dan tim sepakbolanya adalah lawan tim Kajen-ku saat bertanding hampir tiap sore di lapangan depan kabupaten Wonogiri.


Photobucket

Yang berduka. Nampak dalam gambar, Heru Susetyo (berpeci, putra ke-4) dan Sugeng Sudewo(berkacamata, putra ke-2), sedang mengikuti proses penguburan dengan takjim.

Photobucket

Selamat jalan, Ibu. Keluarga yang sedang dirundung duka bersiap meninggalkan lokasi pemakaman. Keluarga yang sangat merasa kehilangan ibunda tercinta itu antara lain keluarga Yuli-Fuad, Trin-Joko Sudibyo, Sugeng-Sudewo-Mufik, Heru Susetyo-Yayuk, Wiwik, Atik-Hary Pratasis, Ari Wibowo-Lilis, beserta cucu, semoga merasa bebannya terasa lebih ringan karena ikut disangga oleh Keluarga Besar PWRI Ranting I Giripurwo, Keluarga Besar Rt 03/X, Kajen, Giripurwo, juga tanziah lainnya.

Kini tinggal doa-doa dari anak cucu Ibu Surasni Hadi Soebroto yang selalu beliau harapkan, sehingga beliau senantiasa memperoleh ketenteraman abadi di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. (Bambang Haryanto).


kkk

Kamis, 10 Januari 2008

mBok Yoso, Telah Mendahului Kita

Photobucket
Momong Putu

Photobucket
Berwisata Bersama Lartin, Putri Sulungnya.

Photobucket
Menghadap Allah, 9 Januari 2008, di RS Oen Solo Baru. Nampak upacara brobosan.

Photobucket
Bapak Slamet Sadono Memimpin Upacara Penguburan, 10 Januari 2008, di Taman Pemakaman Umum Kajen, Wonogiri.


Photobucket
Diantar Warga Kajen Menuju Peristirahatan Abadi. Selamat jalan, mBok Yoso.

Tulisan Jawa Di Jalan-Jalan Kita

Huruf Jawa : Revitalisasi Budaya Jawa atau Usaha Sia-Sia ?