Sabtu, 24 Desember 2011

In Memoriam Bapak Sutarmin Marto Semito: Saat Dipimpin Beliau Olahraga Kajen Begitu Marak

Oleh : Broto Happy Wondomisnowo
Warga Kajen, wartawan Tabloid BOLA, Jakarta



Seluruh warga Kajen yang ada di mana pun rasanya akan berduka mendalam atas wafatnya Bapak Sutarmin Marto Semito pada Kamis, 22 Desember 2011 malam dalam usia 86 tahun.

Pak Tarmin tidak saja menjadi orangtua dan kakek bagi anak dan cucunya, tetapi juga pemimpin, teladan, dan sekaligus sesepuh warga Kajen.

Sebagai salah satu warga, saya pun ikut berbela sungkawa atas kepergiannya menghadap Sang Khalik. Semoga segala amal baik dan ibadahnya bisa diterima di sisiNya.

Pak Tarmin bagi saya, , bukan hanya seorang lurah (sebutannya dulu) dan kepala lingkungan. Mendiang juga motivator ulung yang mampu membangkitkan semangat seluruh warganya. Ketika di usia remaja pada akhir tahun 1970-an, saya bisa merasakan bagaimana Pak Tarmin ikut berjasa besar dalam menggelorakan semangat berolahraga saya. Sentuhan midas itu pula yang kemudian ternyata ikut membangun karier hingga bisa menjadi wartawan olahraga di Tabloid BOLA, Jakarta.


Top di Wonogiri. Saat saya remaja, kegiatan olahraga di kampung Kajen termasuk begitu marak. Aktivitas para remajanya bisa dibilang melebihi apa yang dilakukan rekan sebaya di kampung sekitar Kajen, bahkan seluruh Kecamatan Kota Wonogiri.

Kegiatan olahraga di Kajen kala itu termasuk menonjol. Pak Tarmin-lah yang ikut menyuburkan semangat berolahraga di kalangan remaja Kajen. Mulai dari kegiatan sepakbola, bola voli, basket, bulutangkis, hingga tenis meja, bisa ditemui di berbagai tempat di Kajen dan sekitarnya.

Hebatnya, hampir seluruh remaja Kajen saat itu begitu menggilai kegiatan olahraga tersebut. Setiap sore atau akhir pekan, adalah hari olahraga bagi para remaja Kajen.

Photobucket
Olahraga keluarga. Arena bermain pingpong keluarga Kastanto di kampung Kajen nampak sedang terpakai oleh Slamet "Oo" Yuwono (membelakangi lensa) melawan Bhakti "Nuning" Hendroyulianingsih.Yang berkaos nomor 9 adalah Broto Happy.

Photobucket
Menunggu giliran. Pertandingan antara Slamet Yuwono melawan Nuning sedang ditunggui oleh adik-adiknya, Betty (kiri) dan Bonny. Arena pingpong ini juga menjadi tempat berkumpul dan berolahraga bagi warga Kajen lainnya.

Atlet pingpong amatir keluarga Kastanto, Kajen, Giripurwo, Wonogiri, era 1970-an, Atlet pingpong keluarga. Dari kiri : Basnendar, Betty, Bonny, Slamet Yuwono (Oo), Broto Happy (di belakang) dan Nuning.
Istirahat dan berpose. Dari kiri : Basnendar, Betty, Bonny, Slamet Yuwono (depan), Broto Happy (belakang) dan Nuning.

Salah satu bukti, atas inisiatif ayah saya Kastanto Hendrowiharso, di halaman rumah saya disediakan meja pingpong. Saban akhir pekan, banyak yang main. Bahkan hingga larut malam. Mas Bajuri (foto bawah, dipotret oleh Bambang Haryanto, 2008) kala itu bisa disebut sebagai maestro pingpong Kajen. Ia bermain menawan dengan pola permainan yang super ultra defensive namun sangat menghibur.

Saya masih ingat dengan teriakan khasnya: "Loncis! Loncis!" setiap bola Mas Bajuri mati, keluar atau menyangkut di net. Selain di rumah saya, di tempat Pak Wasimin di RT 3 ada meja ping pong pula.

Main sepakbola, karena tidak punya arena, biasa dilakukan di Lapangan Kabupaten. Hampir saban sore kami bermain si kulit bundar ini. Baru menjelang Mahgrib, kita bubaran. Kita main bola dengan nyeker alias tanpa sepatu bola. Maklum, sepatu bola saat itu termasuk barang mewah. Karena keterbatasan itu pula, kami terpaksa harus patungan untuk membeli bola.

Nama-nama seperti Agus Doyok, Djentot Winarno, Si Sur, Kristanto, Heru Goang, Bagong, Widodo Jendul, Juki, Sigit, Heri, Iguk, Agung, Dayat, Djayadi, juga saya, adalah sebagian yang main bola.

Bahkan warga yang usianya sudah layak disebut dewasa seperti Mas Misdi, Mas Banon, Mas Eko Winarso, Mas Jito dan juga Lik Bawarto ikut main bal-balan.

Pasukan Biru. Belakangan, setelah banyak pemain bisa membeli sepatu bola, kegiatan ini meningkat. Saat dipimpin Pak Tarmin pula, Kajen akhirnya memiliki tim sepakbola di bawah nama klub Perdikan. Kala itu seragam kebanggaannya adalah kaus warna biru dipadu warna putih di bagian lengan, dengan celana dan kaus kaki merah. Hampir mirip dengan tim nasional Prancis.

PS Perdikan tak hanya berlatih, tetapi juga menggelar lawatan ke daerah lain. Klub ini yang dimotori Lik Bawarto (sekarang jadi camat) pernah main lawan tim Wonoboyo di Lapangan Bantarangin, samping SMP Negeri 2. Juga menghadapi klub Wonokarto di Stadion Wonokarto.

Klub kebanggaan warga Kajen ini pun pernah melawat ke daerah lain, seperti Tirtomoyo, Ngadirojo, Eromoko, hingga ke Pule, Selogiri.

Di lapangan Pule ini, saya punya kisah yang tidak terlupakan. Ketika melawan klub setempat, baru setengah babak, gawang Mas Eko Winarso sudah kebobolan dua gol.

Perdikan di pertengahan babak kedua, akhirnya bisa menipiskan ketertinggalan menjadi 1-2 lewat scrimage di gawang lawan. Siapa sang pencetak gol tidak jelas. Pemain-pemain Kajen juga tidak ada yang berani mengklaim dirinya sebagai pencetak gol. Pokoknya 1-2 keduduka akhirnya.

Pertandingan pun tinggal hitungan menit akan bubar. Saat itu, saya bertanya ke wasit, tinggal berapa menit lagi pertandingan akan berakhir. Sang pengadil pun menjawab: "Tinggal 5 menit," begitu ujarnya.

Karena tidak ingin kalah, dan waktu makin menipis, para pemain PS Perdikan langsung meningkatkan intensitas serangan. Gelombang serangan yang sporadis itu akhirnya berbuah pelanggaran di sisi kiri daerah pertahanan lawan. Saya sebagai libero, ikut naik membantu serangan.

Tendangan bebas di luar kotak pinalti diambil Agus Doyok. Dia mengarahkan ke Mas Banon. Karena memiliki postur jangkung layaknya Peter Crouch, pemain timnas Inggris dan juga klub Stoke City di Liga Inggris, dengan membelakangi gawang, Mas Banon bisa sempurna menyundul bola.

Dewi Fortuna rupanya berpihak kepada saya. Sundulan itu tepat mengarah ke saya. Dan tanpa mengontrol, si kulit bundar itu langsung saya embat sekeras-kerasnya dan mengoyak gawang lawan tanpa bisa ditahan kiper. Gol!

Skor pun berubah menjadi 2-2 dan beberapa saat kemudian sang wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan.

Saktinya Dewaruci. Setelah PS Perdikan sinarnya meredup, di Kajen lahir klub sepakbola Dewaruci. Klub ini diprakarsai Mas Djoko Sudono, pemilik usaha sablon "DS" yang berdiri di RT 2, persis di sebelah selatan SKKP atau SMP 3 dulu.

Dewaruci FC juga memakai warna biru benhur sebagai warna kebanggaannya. Seragamnya serba biru, mulai dari kaus dan celana, serta kaus kaki putih. Di bagian dada terdapat gambar sablon putih tokoh wayang Dewaruci. Kalau basah kena keringat atau kehujanan, gambar Dewarucinya malah makin jelas.

Para pemainya, bisa disebut di antaranya, Agus Doyok dan adiknya, Heru Goang, Bobby (putra Pak Soenarko), Agung, Heru (anak Gerdu), Ucok, saya, dll. Sebagai kiper adalah Prapto, dia anak Pracimantoro yang ngenger di Kajen untuk meneruskan sekolah. Sementara si Ucok ini kemudian malah dipanggil memperkuat tim perserikatan kebanggaan Wonogiri, Persiwi.

Tawuran fanatisme. Kegiatan lain selain sepakbola yang juga berkembang adalah voli. Atas prakarsa Pak Tarmin pula, kita bisa membeli bola voli yang bagus, beserta netnya. Duit untuk membeli peralatan itu didapat lewat kerja bakti memotong pohon beringin yang sudah roboh diterjang angin kencang.

Ceritanya, pohon beringin di tepi anak sungai Bengawan Solo di daerah perbatasan RT 1 dan 2 di Kajen Wetan, tepatnya di seberang rumah Pak Maun, roboh. Karena takut "sang penunggu marah" tidak ada yang berani mengusyiknya. Akhirnya lewat keputusan Pak Tarmin dengan dibantu Mbah Marjan, para warga berani menebang cabang pohon beringin besar yang roboh.

Setiap Minggu warga Kajen, terutama para pemuda dan remaja, kerja bakti menebang cabang yang patah itu. Ranting, cabang, dan pokok kayu dipotong kecil-kecil. Setelah dikumpulkan, kemudian dijual. Hasilnya untuk membeli peralatan voli. Pelatih voli saat itu adalah Mas Jito yang piawai, maklum dia lulusan Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) Solo.

Hanya saking semangatnya, ketika digelar pertandingan voli antar RT untuk menyambut Agustusan, sempat terjadi kejadian yang memalukan. Lapangan di bawah rumpun bambu di kebun milik Mbah Po yang berada di lingkungan RT 4 (saat itu), menjadi saksi sejarah bagaimana fanatisme para remaja dan pemuda dalam membela korps-nya berbuntut perkelahian yang melibatkan beberapa anggota warga RT 4 dengan RT 6.

Gara-gara kejadian ini, kami para remaja mengenangnya sebagai Tragedy Heysel, mengingatkan akan matinya 39 suporter Juventus saat dihabisi pendukung Liverpol dalam ajang final Liga Champion 1985 di Stadion Heysel, Belgia!

Menyebrang kali. Di era Pak Tarmin pula, sudah dirintis acara persahabatan lewat titian muhibah khusus olahraga antara warga Kajen dan Kampung Pengkol yang dipisahkan Sungai Bengawan Solo. Ketika itu dipertandingkan cabang voli dan ping pong putra-putri. Kita nglurug ke desa seberang untuk bertanding di dua cabang tersebut.

Sementara menyangkut makan-minum dan konsumsi kita membekali sendiri dengan menenteng teko berisi air. Begitu sebaliknya, di lain waktu gantian Kajen bertindak sebagai tuan rumah.

Tujuan utama kegiatan ini bukan semata-mata mencari kemenangan di olahraga. Namun ada yang jauh lebih penting, yaitu menjalin hubungan harmonis antar warga dua desa yang dipisahkan sungai tersebut. Maka, berkat hubungan diplomatik yang harmonis ini, tidak ada lagi namanya tawuran antar kampung, seperti yang marak belakangan ini di Tanah Air.


Kerusuhan di Kodim. Kegiatan lain yang menonjol adalah bermain bola basket. Lewat perkumpulan BBKC (Bola Basket Kajen Club), remaja-remaja Kajen dihimpun untuk menekuni cabang andalan Negeri Paman Sam itu. Latihannya terpaksa nglurug, kalau tidak ke lapangan SMA Negeri 1, bisa juga ke lapangan Kodim.

Begitu bel berakhirnya jam kerja perusahaan jamu Air Mancur terdengar (sekitar jam 3 sore), itu menjadi pertanda remaja-remaja Kajen berkumpul untuk segera berangkat berlatih. Berkat latihan rutin, penampilan pemain-pemain Kajen makin oke.

Pernah suatu ketika digelar pertandingan basket antar klub se-Wonogiri. BBKC ternyata tampil memikat. Berbekal permainan penuh semangat dan kompak, BBKC bisa tampil ke final. Sukses ke final ini pun disambut hangat oleh orangtua pemain. Keberhasilan ini pun menjadi buah bibir warga masyarakat Kajen.

Hari yang dinanti tiba. BBKC diperkuat Mas Banon, Agus Doyok, Si Sur, Heri dan Si Kris (putra Pak Wito), Budi (almarhum, putra Pak Mijo), Sigit (putra Pak Narso), Djentot Sunarno, almarhum Lik Mul, Luluk (putra Pak Sayono), saya, dan ditambah Ari Prakosa (almarhum, putra Pak Panidi, Kedungringin) melawan klub Rajawali yang sebagian diperkuat pemain-pemain keturunan. Pertandingan digelar di Lapangan Kodim 0728.

Sayang partai final ini tidak berjalan mulus. Karena kepemimpinan wasit yang berpihak kepada lawan, terjadi kericuhan. Pemain BBKC tidak puas karena merasa dicurangi. Dampaknya, pendukung Kajen yang memang hadir dalam jumlah banyak, ikut merangsek ke dalam lapangan. Suasana jadi kacau dan bertambah panas.

Wasit dikerubuti pemain dan suporter Kajen yang memprotes keputusan yang tidak adil. Terjadi dorong dorongan. Tak ingin terjadi anarki, Pak Suripto, ketua pantia yang juga anggota ABRI (kalau tidak salah ketika itu berpangkat letda) yang bertugas di Kodim, meminta bantuan tentara yang tengah piket untuk ikut mengamankan suasana.

Beberapa suporter Kajen yang dianggap sebagai provokator, sempat diamankan di ruangan piket Kodim. Pertandingan pun tidak diteruskan. Meski tidak jadi juara, BBKC tetap bangga. Mereka tidak kalah oleh lawan tapi gagal karena kepemimpinan wasit yang buruk!

Para orangtua pemain dan suporter juga tetap merasa bangga. Buktinya, usai pertandingan para pemain dan suporter diarak pulang dengan naik bus Giri Indah yang di parkir di depan Kodim. Meski bukan pemilik, kita diarak karena para sopir bus itu kebanyakan warga Kajen!

Nilai luhur Pak Tarmin. Pendeknnya, berkat kegiatan olahraga pula, yang namanya tawuran antar remaja tidak ada. Begitu pula dengan kegiatan negatif seperti minum-minuman keras, apalagi narkoba, juga termasuk barang langka. Lewat olahraga pula, remaja Kajen dibina mentalnya untuk hidup sehat, menjunjung semangat, kompak, dan mau gotong royong.

Nilai-nilai luhur itu juga yang ditularkan oleh Pak Tarmin kepada warganya, terutama kaum remajanya. Meski kini Pak Tarmin sudah tiada, budi baik, jasa, dedikasi, pengabdian, bimbingan, dan teladannya, layak diteruskan.

Pak Tarmin, beristirahatlah dengan tentram. Kami hanya bisa berdoa, semoga amal dan ibadahnya mendapat balasan dari Allah.

*Broto Happy Wondomisnowo, warga Kajen RT 4 (kini RT 1/RW 11) yang sejak 1990 boro ke Jakarta untuk menjadi wartawan, penulis buku, dan komentator bulutangkis di sejumlah televisi.


Bogor-Jakarta, 23/12/2011

Kamis, 22 Desember 2011

Kajen Kehilangan Pepunden : Bapak Sutarmin Marto Semito

Oleh : Bambang Haryanto
Email : kajenku (at) gmail.com



Kehilangan jejak sejarah. “Innalillahi wa inna ilahihi rojiun, semoga dengan berbekal segala pahala dan budi baiknya, almarhum bisa diterima di sisiNya.”

Itulah sms dari warga Kajen yang kini tinggal di Bogor : Broto Happy Wondomisnowo. Ia wartawan Tabloid BOLA, penulis buku dan komentator bulutangkis di pelbagai stasiun televisi nasional.

Tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Oktober 2008, saya dan Happy sowan ke rumah Bapak Sutarmin Marto Semito (foto, tengah). Beliau tadi malam, Kamis 22/12/2011 jam 22.30 telah dipanggil menghadap Illahi, di kampung Kajen, Giripurwo, Wonogiri. Beliau tutup usia mencapai 86 tahun.

Bersama pepunden Kajen : Broto Happy, Bapak Sutarmin Marto Semito dan Bambang Haryanto, Silaturahmi tanggal 1 Oktober 2008 di Kajen, Giripurwo, Wonogiri

Bapak Sutarmin Marto Semito, seorang pepunden, alias tokoh terhormat di kampung kami. Waktu saya kecil, kami menyebutnya sebagai Pak Lurah.

Jabatan tersebut kini dilanjutkan oleh putranya, Mas Suroto, walau sekarang ini dengan aturan kepemerintahan yang mutakhir, dirinya memperoleh sebutan baru. Sebagai Kaling, kepala lingkungan.

Mas Suroto ketika saya tanya masa jabatan ayahnya, menjawab pendek : “Beliau sudah pensiun sebagai kaling 30 tahun yang lalu.” Jadi sekitar tahun 1980. Sebelumnya, yang saya ingat di tahun 60-an (saat saya SD), Lurah kajen itu dijabat oleh Bapak Noyorejo.

Sedang menantunya, Mas Nunuk, ketika saya tanyakan apakah Pak Marto Tarmin sudah menjabat sebagai kaling saat banjir besar melanda Kajen tahun 1966, dia tidak tahu. Tetapi Mas Suyat, keluarga dari kaling lama Pak Noyo, menyatakan Pak Marto Tarmin sudah menjabat sebagai kaling Kajen.

Kepergian beliau, jelas merupakan kehilangan besar bagi kampung kami. Kampung ini sepertinya terputus hubungan dengan sejarahnya di masa lalu, karena penghubung itu, karena kehendak Illahi, telah menghadap kepadaNya satu demi satu. Waktu demi waktu.

“Sampaikan salam ikut berduka cita,” tutup sms dari Happy. Tentu. Keluarga besar Kastanto Hendrowiharso, juga ikut berduka cita atas wafatnya beliau.

Semoga Ibu Marinem (istri), beserta putra-putri dan menantu beliau Tumin-Sumini, Rahmanto-Suharni, Rahmanto-Suharni, Suparti-Wariman, Suparmi-Sugiri, Mulyono-Leginah, Suroto-Suprapti dan Surati-Sugiyarto dan seluruh keluarga besar Bapak Bapak Sutarmin Marto Semito, dikaruniai kesabaran dan ketegaran, di saat-saat sulit seperti ini.

”Sugeng tindak, Pak Marto Tarmin.



Kajen, Wonogiri, 23/12/2011

Jumat, 19 Agustus 2011

Wonogiri Kehilangan Bapak Drs. AK Djaelani

Radit, anak tampan itu, kini tak lagi bisa pergi ke Jumatan bersama eyangnya. Tetapi ia nampak tabah ketika mengantar eyangnya, Drs Abdul Kadir Djaelani, dimakamkan di siang hari terik bulan Agustus, di Pemakaman Umum Kajen, Wonogiri.

Sebenarnya tidak hanya Radit (foto) yang merasa kehilangan eyang tercintanya. Melihat jajaran karangan bunga yang menyertai upacara pemakaman yang dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono, sebenarnya Wonogiri telah kehilangan pendidik, tokoh budaya dan tokoh masyarakat yang dikenal luas dan menjadi rujukan pertanyaan hal-ihwal kebudayaan, khususnya kebudayaa Jawa.

Ada karangan bunga dari Danar Rahmanto, Bupati Wonogiri. Paguyuban Permadani Pusat (Semarang) dan Wonogiri. Politisi Partai Golkar sampai BKK Wonogiri. Ketika jenazah diberangkatkan dari rumah duka Kajen Rt 1/RW X, nampak pelbagai unsur masyarakat Wonogiri hadir di sana.

“Sifat kebapakan merupakan sifat yang menonjol dari beliau.” Demikian tukas spontan dari Suliyanto, S.Pd, guru SMP Negeri 1 Wonogiri dan kawan seperjuangan beliau dalam organisasi Permadani. “Organisasi ini kan terdiri dari pelbagai macam orang dan karakter. Nah, Pak Djaelani yang ngrakani, merengkuh semua unsur itu untuk menjadi padu.”

Kelebihan itu kiranya yang kemudian membuat organisasi Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani). Wonogiri berkembang. Tidak hanya berjaya di telatah Wonogiri, tetapi mampu membuka cabang-cabang sampai kawasan Karanganyar dan Pacitan.

Permadani adalah ormas dalam bidang kebudayaan, nonpolitik dan nonkomersial, yang didirikan di Semarang 4 Juli 1984. Nama itu dipilih oleh tokoh kebudayaan dan dalang terkenal, Ki Nartosabdo. Di Jawa Tengah telah menyebar hingga 21 kabupaten/kota madya dan di Jawa Timur menjangkau 12 kabupaten/kota madya.

Di Kabupaten Wonogiri sendiri, pada tahun 2007 saja, telah merambah 15 kecamatan dan aktivitas utamanya selama ini mencakup penyelenggaraan kegiatan yang dalam bahasa Jawa disebut pawiyatan panatacara tuwin pamedhar sabda, kursus protokoler atau master of ceremony dan pidato berbahasa Jawa.

Mencatat kiat horse sense. Di Permadani itulah saya mengenal Pak Djaelani. Atas prakarsa salah satu tokoh Permadani, Mas Otong Tri Lono, pada tanggal 27 Mei 2007, saya diminta untuk berbagi wawasan mengenai kiprah kaum epistoholik untuk warga Permadani Kabupaten Wonogiri.

Pembawa makalah lainnya adalah Suliyanto, S.Pd., guru SMP Negeri 1 Wonogiri dan pembawa acara kajian budaya dan bahasa Jawa di Radio Gajah Mungkur, Wonogiri. Ia akan membawakan makalah sesudah saya, berjudul “Mengkaji Pokok-Pokok Pelajaran Kursus Bahasa Jawa-Pembawa Acara-Pidato Khas Permadani Wonogiri.”

Keesokannya, Mas Suliyanto, kelahiran Pracimantoro yang lulusan cum laude IKIP Semarang itu menyajikan makalahnya dengan PowerPoint. Bahasannya sangat komprehensif, sejak dari kesusasteraan jawa, siklus hidup manusia berdasarkan kosmologi Jawa, sampai seputar dunia perkerisan.

Hari Sabtu malam, saya bersama pak Otong itu menuju ke aula SDN 1 Wonogiri, tempat sarasehan esok harinya. Sekitar 400 m dari rumah saya. Jalan kaki. Melihat-lihat lokasi dan mempersiapkan segala hal. Kami bertemu dengan mas dalang RMT Liliek Guna Hanoto Diprono. Beliau ini adalah mantan kepala lingkungan (kaling) kampung saya, Kajen. Saat bertemu di tahun 80-an, badannya langsing. Kini nampak subur dan makmur.

Juga bertemu dengan ketua Permadani Wonogiri, Drs. AK Djaelani. Ketika ia salami sambil menyebut nama ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, beliau langsung nyambung. Kalau tidak salah, setahu saya belasan tahun lalu, untuk urusan menjadi panitia hajatan di Kajen atau mungkin main rummy di kalangan bapak-bapak, beliau adalah sohib almarhum ayah saya Kastanto Hendrowiharso yang meninggal tahun 1982.

Sebelumnya, kami kadang ketemu di jalan usai jalan kaki pagi, tetapi tak ada “kontak” di antara kami. Oleh karena itu timbul kejadian lucu, demikian cerita Mas Otong kemudian, bahwa mas Liliek dan pak Djaelani itu tidak tahu sama sekali tentang kiprah saya sebagai warga Epistoholik Indonesia selama ini.

Usai membawakan makalah, Pak Djaelani kiranya tertarik terhadap isi paparan saya mengenai kiat sukses a la pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991). Kiat itu telah saya tuliskan saat itu untuk beliau.

Setelah pertemuan itu, sekitar 3-4 kali acara wisuda Permadani, saya selalu hadir. Juga untuk bersilaturahmi dengan Pak Djaelani. Yang sering ketemu adalah ketika usai jalan kaki pagi, saya pergoki beliau sedang menuju kios koran Vemby untuk membeli koran. Sedang pada saat sholat Jumat, nampak ia disertai cucunya, Radit tadi.

Beliau yang entengan, murah hati, beberapa kali saya potret ketika beliau didapuk menjadi wakil fihak keluarga yang sedang dirundung kesripahan. Misalnya, ketika meninggalnya teman SD saya Paulus Suparno sampai wafatnya tokoh dalang dan budaya Jawa, Bapak Oemartopo (foto) di tahun 2008.

Penyesalan saya sekarang adalah, adalah tidak kesampaiannya gagasan saya untuk sowan beliau guna menunjukkan foto-foto jepretan saya tersebut. Juga memohon kesan-kesan ketika beliau aktif menjadi tokoh kampung Kajen bersama almarhum ayah saya.

Bapak Drs. Abdul Kadir Djaelani, pensiunan Agraria/BPN, telah dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 18 Agustus 2011, Kamis Pon, Jam 18.15 di RSUD Soediran Mangunsumarso, Wonogiri. Beliau mencapai usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di Pemakaman Umum Kajen, Jumat Wage, 19 Agustus 2011.

Semoga keluarga yang ditinggalkan, yaitu Ibu Harsiti, putra/putrid yang terdiri Waskito Budi Nugroho/Menik Suratmi, S.Pd (Jakarta), AMS Adi Prabowo/Etik Widyati, S.Pd (Wonogiri), Rahmawati Tri Hastuti/Ajid BR (Wonogiri), Ida Kusumawati/Misdi (Jakarta), Sari Indah Listyani/Prasetyo Agus (Wonogiri), beserta cucu, dianugerahi kesabaran, ketegaran dan iman dalam suasana yang sulit saat ini.

Selain Bapak Sarono yang mewakili Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI), di antara pelayat juga saya temui beberapa mantan guru saya di SMP Negeri 1 Wonogiri. Misalnya, Bapak Mufid Martoadmojo, Bapak H. Soepandi, BA yang membacakan doa, dan guru gambar, Bapak Mulyonowasto. Semua mendoakan agar Bapak Djaelani yang wafat di tengah bulan Ramadhan ini senantiasa memperoleh kesejahteraan di sisi Allah.

Sugeng tindak, Pak Djaelani.



Bambang Haryanto
Wonogiri, 19/8/2011