Selasa, 17 Februari 2009

Istirahat Dalam Damai : Paulus Suparno

Teman yang baik. “Saya masih ingat dia, orangnya baik, rajin dan nurut. Tiap pagi kesekolah pasti bareng saya. Pulangnya juga bareng,” itulah bunyi pesan SMS (17/2/2009) dari Jakarta. Pengirimnya, Sugeng Sudewo, yang pada tahun 1961-1967 bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 3 Wonogiri. Teman berangkat sekolah yang ia sebut di atas adalah Suparno.

Keduanya memang tinggal berdekatan. Sugeng Sudewo, putra Bapak/Ibu Hadisubroto (ibu Hadisubroto wafat 15 Januari 2008), tinggal di komplek Perumahan Rakyat Kajen. Hanya sekitar 150 meter, ke arah timur, terletaklah rumah Suparno, yang putra Bapak/Ibu Karsodikromo. Di kampung dan oleh teman akrab ia disebut sebagai Parno Benjo. Adiknya bernama Supardi, punya sebutan Genjik, yang juga bersekolah di SDN 3 Wonogiri.


Sugeng Sudewo dalam sms juga mengatakan, “saya ikut bela sungkawa atas meninggalnya kawan kita.” Kawan kita yang dimaksud adalah Paulus Suparno. Sugeng Sudewo, Suparno sendiri, Sri Wahyono (almarhum), Timbul Susanto (almarhum) Slamet Hartanto dan saya sendiri (Bambang Haryanto), yang sama-sama tinggal di Kajen, merupakan teman seangkatan di SDN 3 Wonogiri. Ketika duduk di kelas 6 kelas kami diampu oleh Bapak Narwoto. Nama terakhir ini kemudian menjadi politisi senior di Wonogiri dari Partai Amanat Nasional.

Photobucket

Memberi hormat. Penghormatan untuk almarhum Paulus Suparno diberikan oleh sanak-saudara, handai tolan dan kenalan yang mengalir tanpa henti. Suasana khidmat menjelang pemberangkatan jenazah.

Photobucket

Duka cita dari kolega. Paulus Suparno hingga akhir hayat bekerja pada Perum Pegadaian selama 30 tahun. Dedikasi yang panjang itu tidak dilupakan oleh perusahaan dan kerabat kerjanya. Nampak karangan bunga tanda empati kepada keluarga yang berduka dikirim oleh Pegadaian Wonogiri dan bahkan juga dari Kanwil Semarang.

Paulus Suparno meninggal dunia dalam usia 55 tahun, pada hari Senin Kliwon, 16 Februari 2009, jam 15.30 di Rumah sakit Dr Oen Kandang Sapi, Solo. Menurut adiknya Supardi, ia meninggalkan 4 putra/putri dan seorang cucu.

Jenasah dimakamkan hari Selasa Legi, 17 Februari 2009 di Pemakaman Umum Kampung Kajen. Sebelumnya akan diaksanakan upacara agama Katholik di rumah duka, RT 02 RW 10, Kajen, Giripurwo.

Photobucket

Ucapan terima kasih. Keluarga besar Bapak Paulus Suparno yang sedang berduka, tidak melupakan limpahan empati dan duka cita dari sanak-saudara, kerabat dan handai taulan. Tokoh masyarakat Kajen, bapak Drs. A.K. Djaelani dengan didampingi adik almarhum, Supardi (kanan) dan kakak ipar dari Ibu Suparno, yang mewakili keluarga sedang memberikan sambutan berupa ucapan terima kasih. Juga memohonkan maaf atas segala kesalahan almarhum semasa hidupnya.
Photobucket

Brobosan. Sebelum jenazah diberangkatkan dari rumah duka, nampak sedang dilakukan upacara brobosan oleh keluarga almarhum. Ritus ini merupakan tanda keikhlasan keluarga untuk melepas almarhum menuju rumah abadi di sisi Yang Maha Kuasa.


Keluarga Wuryantoro. Suparno masih memiliki kaitan keluarga dengan diri saya. Utamanya terkait antara keluarga ayahnya, Bapak Karsodikromo (meninggal dunia tahun 1985) yang berasal dari Wuryantoro, kota asal yang sama bagi ayah saya Kastanto Hendrowiharso (meninggal dunia 1982).

Supardi yang saya temui, Selasa pagi (17/2), menyebut ayah saya sebagai pakde. Lalu dalam obrolan muncul nama mBah Sokromo, yang tidak lain masih bersaudara dengan mBah Kasan Luwar, kakek saya. Nama mBah Sokromo ini saya ingat, rumahnya di Wuryantoro, yang pernah ditinggali ayah dan ibu saya.

Cerita masa lalu kemudian berparade di benak saya. Setiap berangkat ke sekolah, saya dan adik-adik saya memang selalu melewati depan rumah Suparno. Juga mendapat tegur sapa dari Lik Karso, yang saat itu menjadi penjaga malam di Perum Pegadaian Wonogiri. Badan usaha inilah yang kemudian menjadi lahan karier dan pengabdian Suparno. Semula di Wonogiri, sempat pindah ke Baturetno. Ketika gangguan kesehatannya muncul, ia pindah lagi ke Wonogiri.

Setelah lulus SD, kami berpisah. Saya meneruskan ke SMP Negeri 1 bersama Sugeng Sudewo dan Sri Wahyono. Suparno meneruskan bersekolah ke Sekolah Teknik Negeri (STN) 1 Wonogiri. Begitu lulus SMP (1969), saya bersekolah di Yogya, lalu Solo dan Jakarta, membuat kontak kita menjadi putus.

Balada dua kucing. Saya ingat satu kejadian dramatis ketika duduk di SDN 3 Wonogiri. Selain ingat, tentu saja, penampilan Suparno yang ketika diminta bercerita di depan kelas, seingat saya, ia selalu mendongeng tentang perilaku dua jenis kucing : kucing kurus versus kucing gemuk. Saya tidak ingat lagi kucing mana yang berperilaku baik, tetapi dongengnya itu mengajarkan nilai-nilai kebaikan.

Kejadian dramatis itu terjadi saat kita main perang-perangan. Kebetulan di dekat sekolah kami terdapat tebing di tepian Bengawan Solo. Ada jalan setapak dari tebing itu yang mengarah ke sebuah gua. Di dekat gua itu, agak ke timur, ada batu menjorok ke sungai yang kami gunakan sebagai tempat landas untuk ramai-ramai beraksi a la Gregg Louganis mencebur ke sungai. Setiap jam istirahat, kami sering menggunakan waktu untuk ramai-ramai mandi di sungai.

Aktivitas hura-hura yang beresiko. Sebab bila ketahuan oleh ayah atau ibu saya, saya akan dihukum dengan diguyur air hingga megap-megap dan kedinginan. Teknik ini, tentu yang lebih sadis mungkin kini disebut sebagai waterboarding, teknik yang digunakan oleh CIA untuk menginterogasi tersangka teroris di penjara Guantanamo.

Ketika aksi perang-perangan itu, Suparno masuk kelompok yang menjadi lawan saya. Ia dan kelompoknya masuk gua dan bertahan di sana. Saya dan kelompok saya, dari atas gua, menghujani mulut gua dengan gumpalan tanah. Rumput-rumput kering seputar gua, kami bakar. Asapnya biar masuk gua, membuat sesak, hingga musuh terpaksa keluar dari gua.

Taktik itu berhasil. Suparno yang nampak muncul dari dalam gua, segera saya serang dengan gumpalan tanah dari atas. Seingat saya, gumpalan itu saya arahkan ke dinding di atas gua. Bukan langsung ke kepala dia. Sejurus kemudian terjadi hal yang mengagetkan : pundak di baju putih dia bertaburan bercak-bercak darah. Perang-perangan itu pun selesai. Kami lalu membawa Parno ke poliklinik, yang berada di kompleks SMA Negeri 1 Wonogiri.

Syukurlah, lukanya tak mengkuatirkan. Esoknya, saya dicegat oleh Lik Karso, ayah Parno. Ia menasehati saya agar tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Saya diminta sayang kepada adiknya, yaitu Parno tersebut.

Pertemuan terakhir. Tahun 1998, ketika terjadi krismon, saya kembali menjadi warga Kajen. Setelah 18 tahun tinggal di Jakarta. Pagi-pagi hari, ketika jalan kaki pagi, sering bertemu Parno. Ia memboncengkan anaknya, memasok kue-kue untuk kantin sekolah di SD Kanisius, Wonogiri. Kami saling melambai.

Tahun 1998, ketika saya ikut mendirikan Forbis (Forum Bisnis Solo) dan menjadi penggagas plus pelaksana (bersama adik saya, Mayor Haristanto) acara Dialog Ekonomi Di Tengah Krisis di Solo, sempat mengobrol dengan Parno di pinggir jalan Wonogiri. Acara itu didukung oleh Jokowi, pengusaha mebel yang kini jadi walikota Solo. Pembicaranya, yang saya sendiri sebagai pengantar uang muka honor untuknya ke Kampus FEUI Salemba, adalah Dr. Sri Mulyani Indrawati.

Pertemuan saya dengan Parno yang terakhir, terjadi tanggal 16 Desember 2008. Saya melayat meninggalnya ulama terpandang Wonogiri, Bapak H. Abdullah Sadjad. Rumah beliau beradu dinding dengan rumah Sugeng Sudewo. Saya terlambat datang, sehingga saat saya tiba, peti jenazah sudah masuk ambulans untuk menuju pemakaman Kampung Kajen. Saya kehilangan obyek untuk pemotretan. Dengan tergesa, saya segera jalan menuju makam.

Dalam perjalanan bersama pelayat lain itu saya terantuk pada sosok yang kulitnya putih. Dengan tubuh kurus. Setelah saya perhatikan, ternyata ia teman SD saya, Suparno. Kami lalu bersalaman. “Genjik di mana ?” tanya saya. Ia pun menjawab : “Di Bojonegoro.”

Cuaca mulai gerimis. Lalu saya mohon diri, untuk segera ke makam. Karena tergesa-gesa itulah saya kelupaan untuk berpotret bersama. Juga tak sempat meminta maaf atas kejadian di masa sekolah dasar dulu itu. Kini, Suparno telah damai menghadap Sang Maha Pencipta.

Pagi ini (17/2/2009), aku dipersilakan oleh istrinya, Intan Yulia, untuk bertemu Suparno lagi. Ia nampak rapi dalam keranda. Sejenak aku berdoa untuknya. Juga untuk keluarga yang ia tinggalkan, yaitu Intan Yulia, istri, dan anak-anak : Agus Indriatno, Dewi Damayanti-Wagiman (Jakarta), Anita Kusuma Dewi, Fransisca Deby Chintia Dewi, dan cucunya, Karen Tsana Putri Damayanti.

Photobucket

Menuju peristirahatan. Langit Wonogiri cerah saat peti jenazah memasuki area Pemakaman Umum Kajen. Nampak keluarga menyambut dengan tabah dan ikhlas. Putra tertua, Agus, membawa payung. Dan duduk di tengah adalah istri almarhum, Intan Yulia, dan tiga putrinya. Di kejauhan, nampak Gunung Gandul dipayungi langit biru, menjadi saksi.


Photobucket

Tabur bunga untuk yang tercinta. Ibu Intan Yulia (kiri), disertai kerabat Slamet Santoso, anak lelakinya Agus Indriatno (tengah) dan putrinya Dewi, Anita dan Sisca, sedang menaburkan bunga ke peti jenasah sebelum diturunkan ke liang lahat. Ayah tercinta telah pergi, tetapi cinta dan kenangan terhadapnya akan selalu hidup dalam sanubari mereka yang ditinggalkan.

Photobucket

Dari tanah kembali ke tanah. Prodiakon Ignatius Gono Purnomo dalam memimpin upacara pemakaman telah disertai warga keluarga besar Lingkungan Sanjaya Paroki St Yohanes Rasul Wonogiri, sedang memanjatkan doa untuk almarhum yang kini bersemayam dalam tenteram, dalam keabadian.

Selamat jalan, Mas Parno.
Semoga kau kini tenteram, damai dan bahagia abadi disisiNya


(Bambang Haryanto).


kkk