Orang Kajen di Kampus UNS Lembaga Pers Mahasiswa VISI dari FISIP UNS Sebelas Maret Solo mengadakan seminar nasional bertopik “Jurnalisme Warga : Ancaman Bagi Media Massa ?” pada tanggal 28 Februari 2008 di Kampus UNS, Kentingan, Solo.
Seminar yang informasinya dimuat di harian Kompas Jawa Tengah 28/2/2008 (foto) telah dihadiri seratusan mahasiswa dan khalayak pemerhati dunia pers menghadirkan pembicara Ana Nadya Abrar, dosen Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta, Aulia A. Muhammad, Pemimpin Redaksi Suara Merdeka CyberNews dari Semarang dan Bambang Haryanto, pendiri komunitas penulis surat pembaca Epistoholik Indonesia (EI) dari Kajen, Wonogiri. Laporan selengkapnya dapat Anda klik di sini.
Keterangan foto : Atas : (ki-ka) Annissa, mahasiswa FISIP UNS sebagai moderator seminar, Ana Nadhya Abrar, Bambang Haryanto dan Aulia A. Muhammad. Bawah : Bambang Haryanto sedang mempromosikan manfaat menulis surat pembaca dan mengelola blog sebagai wahana keterlibatan warga secara aktif dalam perbincangan publik.
kk
blog warga kajen,giripurwo,wonogiri, jawa tengah, indonesia, untuk berkomunikasi dengan dunia
Jumat, 14 Maret 2008
Selasa, 04 Maret 2008
Bapak Maryomo Telah Menghadap Allah
Nostalgia Radio Philips. Peristiwa reuni satu ini dapat terjadi tanpa direncanakan karena hal itu terjadi karena kekuasaan Yang Di Atas semata. Bukan di hotel atau gedung pertemuan, tetapi di pekuburan.
Harinya, Sabtu Pon, 1 Maret 2008. Peristiwanya, saat mengantar Bapak Maryomo ke peristirahatan yang terakhir, di pemakaman umum Kajen Wonogiri. Saat itu saya (Bambang Haryanto) dapat bertemu dengan Hargiyanto dan juga Bambang Sadoyo. Keduanya adalah teman masa ketika bersekolah di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1967-1969. Bambang Sadoyo, atau dikenal dengan sebutan Mas Gembuk, adalah putra kedua dari almarhum Bapak Maryomo.
“Radio Philips-nya Bapak apa masih ada, Mas ?,” tanya saya kepadanya. Ia jawab, “radio dengan enam batu (baterai),” dan disusul dengan gelengan kepala. Masa lalu, masa kecil di kampung Kajen pun kembali berparade di benak. “Ketika Bung Karno berpidato, warga Kajen akan berkumpul di depan rumah Pak Maryomo untuk mendengarkannya,” timpal Hargiyanto yang sering dipanggil sebagai Giman atau Gimanclung.
Rumah-rumah kami berjarak radius 100-an meter, walau keduanya tinggal di Kajen Kulon (Barat) dan saya di Kajen Wetan (Timur). Rumah Giman sering dijadikan sebagai tempat latihan main band. Sedang di depan rumah Mas Gembuk tumbuh pohon asam yang besar dan rimbun, tempat kami anak-anak Kajen yang nggragas mencari buah-buah asam untuk dimakan.
Giman adalah teman satu kelas di Klas II A SMP Negeri Wonogiri. Juga teman memancing. Ia dan Mas Gembuk diam-diam saya kagumi saat kecil itu karena keduanya bisa bermain musik, bermain gitar.
Mungkin karena kekaguman itulah, demikian juga pengakuan Hargiyanto, mendaulat Mas Gembukl sebagai pemimpin selera. Sabuk atau ikat pinggangnya yang berkepala tulisan “007” alias kode rahasia agen James Bond yang modis karena dapat berganti-ganti warna, saat itu telah membuatku ikut-ikutan untuk memilikinya. Tetapi juga ada “sisi hitam” darinya, ia juga seorang mentor yang membujuk dan mengajak kami berdua untuk merokok saat di SMP itu. “Rokoknya cap Salak,” kataku. “Cap Menara,” timpal Hargiyanto. Kedua murid merokoknya Mas Gembuk itu sekarang sudah berhenti merokok, tetapi nampaknya sang mentor justru belum berhenti.
Radionya Pak Maryomo, bagiku, sangat berkesan mewarnai masa kecil itu sebagai sarana untuk mengikuti laporan pandangan mata pertandingan sepakbola. Saat itu boleh disebut beliau sebagai satu-satunya pemilik radio di Kajen. Radio yang masih berteknologi tabung. Model radio transistor belum hadir. Bentuknya besar, warnanya kayu, kecoklatan.
Radio tersebut sedikit banyak juga berjasa mengantar dan memupuk kecintaan saya untuk menulis. Karena seperti saya kisahkan tiga tahun lalu di blog Esai Epistoholica dengan judul Radio Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik, sesudah mendengarkan siaran radio itu saya terus merekonstruksikan apa yang saya dengar dalam bentuk sebuah reportase.
Langit cerah> Mega putih berarak dan langit cerah memayungi suasana upacara pemakaman Bapak Maryomo Di kampung Kajen Bapak Maryomo dikenal dengan rambutnya yang memutih dan selalu nampak sehat sehat itu, tutup usia sampai 94 tahun. Beliau wafat hari Jumat Pahing, 29 Februari 2008, jam 15.30 karena sakit tua di Premban, Klumprit, Mojolaban, Sukoharjo. Sudah puluhan tahun beliau meninggalkan Kajen, tetapi hatinya tetap sebagai warga Kajen, dan kini bersemayam damai disamping makam Ibu Maryomo yang lebih dahulu mendahului pulang ke haribaan Illahi.
Mengantar Ayah Istirahat. Suasana pemakaman sedang berlangsung. Nampak Bambang Sadoyo (nomor tiga dari kanan) dan Suciwati (putri terkecil, nomor lima dari kanan) mengikuti dengan takjim upacara pemakaman ayah tercinta.
Berdoa Untuk Ayah. Almarhum Bapak Maryomo dikaruniai empat putra-putri dan cucu-cucu. Yaitu Mutmainah – Muh. Saleh (Bekonang), Bambang Sadoyo-Wiwin (Wonogiri), Mastuti – Sutantono (Wonogiri) dan Suciwati – Endro Sulistyo (Wonogiri). Nampak putri pertama, Mutmainah, sedang khusuk berdoa.
Bunga dan Doa. Upacara pemakaman yang khidmat telah dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono. Banyaknya kerabat, handai taulan dan kenalan yang mengantar Bapak Maryomo menghadap Sang Khalik ditandai dengan derasnya gema doa dan taburan bunga. Kini tinggal lantunan doa-doa dari anak cucu yang selalu beliau harapkan, sehingga beliau senantiasa memperoleh ketenteraman abadi di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
PS : Terima kasih untuk Mas Luluk dan Keluarga yang telah membantu memberikan informasi untuk penulisan obituari ini.
Sugeng tindak, Bapak Maryomo. Mugi panjenengan pikantuk rahmat lan pangayoman saking Allah SWT. Amin.
kkk
Harinya, Sabtu Pon, 1 Maret 2008. Peristiwanya, saat mengantar Bapak Maryomo ke peristirahatan yang terakhir, di pemakaman umum Kajen Wonogiri. Saat itu saya (Bambang Haryanto) dapat bertemu dengan Hargiyanto dan juga Bambang Sadoyo. Keduanya adalah teman masa ketika bersekolah di SMP Negeri 1 Wonogiri tahun 1967-1969. Bambang Sadoyo, atau dikenal dengan sebutan Mas Gembuk, adalah putra kedua dari almarhum Bapak Maryomo.
“Radio Philips-nya Bapak apa masih ada, Mas ?,” tanya saya kepadanya. Ia jawab, “radio dengan enam batu (baterai),” dan disusul dengan gelengan kepala. Masa lalu, masa kecil di kampung Kajen pun kembali berparade di benak. “Ketika Bung Karno berpidato, warga Kajen akan berkumpul di depan rumah Pak Maryomo untuk mendengarkannya,” timpal Hargiyanto yang sering dipanggil sebagai Giman atau Gimanclung.
Rumah-rumah kami berjarak radius 100-an meter, walau keduanya tinggal di Kajen Kulon (Barat) dan saya di Kajen Wetan (Timur). Rumah Giman sering dijadikan sebagai tempat latihan main band. Sedang di depan rumah Mas Gembuk tumbuh pohon asam yang besar dan rimbun, tempat kami anak-anak Kajen yang nggragas mencari buah-buah asam untuk dimakan.
Giman adalah teman satu kelas di Klas II A SMP Negeri Wonogiri. Juga teman memancing. Ia dan Mas Gembuk diam-diam saya kagumi saat kecil itu karena keduanya bisa bermain musik, bermain gitar.
Mungkin karena kekaguman itulah, demikian juga pengakuan Hargiyanto, mendaulat Mas Gembukl sebagai pemimpin selera. Sabuk atau ikat pinggangnya yang berkepala tulisan “007” alias kode rahasia agen James Bond yang modis karena dapat berganti-ganti warna, saat itu telah membuatku ikut-ikutan untuk memilikinya. Tetapi juga ada “sisi hitam” darinya, ia juga seorang mentor yang membujuk dan mengajak kami berdua untuk merokok saat di SMP itu. “Rokoknya cap Salak,” kataku. “Cap Menara,” timpal Hargiyanto. Kedua murid merokoknya Mas Gembuk itu sekarang sudah berhenti merokok, tetapi nampaknya sang mentor justru belum berhenti.
Radionya Pak Maryomo, bagiku, sangat berkesan mewarnai masa kecil itu sebagai sarana untuk mengikuti laporan pandangan mata pertandingan sepakbola. Saat itu boleh disebut beliau sebagai satu-satunya pemilik radio di Kajen. Radio yang masih berteknologi tabung. Model radio transistor belum hadir. Bentuknya besar, warnanya kayu, kecoklatan.
Radio tersebut sedikit banyak juga berjasa mengantar dan memupuk kecintaan saya untuk menulis. Karena seperti saya kisahkan tiga tahun lalu di blog Esai Epistoholica dengan judul Radio Dalam Kehidupan Seorang Epistoholik, sesudah mendengarkan siaran radio itu saya terus merekonstruksikan apa yang saya dengar dalam bentuk sebuah reportase.
Langit cerah> Mega putih berarak dan langit cerah memayungi suasana upacara pemakaman Bapak Maryomo Di kampung Kajen Bapak Maryomo dikenal dengan rambutnya yang memutih dan selalu nampak sehat sehat itu, tutup usia sampai 94 tahun. Beliau wafat hari Jumat Pahing, 29 Februari 2008, jam 15.30 karena sakit tua di Premban, Klumprit, Mojolaban, Sukoharjo. Sudah puluhan tahun beliau meninggalkan Kajen, tetapi hatinya tetap sebagai warga Kajen, dan kini bersemayam damai disamping makam Ibu Maryomo yang lebih dahulu mendahului pulang ke haribaan Illahi.
Mengantar Ayah Istirahat. Suasana pemakaman sedang berlangsung. Nampak Bambang Sadoyo (nomor tiga dari kanan) dan Suciwati (putri terkecil, nomor lima dari kanan) mengikuti dengan takjim upacara pemakaman ayah tercinta.
Berdoa Untuk Ayah. Almarhum Bapak Maryomo dikaruniai empat putra-putri dan cucu-cucu. Yaitu Mutmainah – Muh. Saleh (Bekonang), Bambang Sadoyo-Wiwin (Wonogiri), Mastuti – Sutantono (Wonogiri) dan Suciwati – Endro Sulistyo (Wonogiri). Nampak putri pertama, Mutmainah, sedang khusuk berdoa.
Bunga dan Doa. Upacara pemakaman yang khidmat telah dipimpin oleh Bapak Slamet Sadono. Banyaknya kerabat, handai taulan dan kenalan yang mengantar Bapak Maryomo menghadap Sang Khalik ditandai dengan derasnya gema doa dan taburan bunga. Kini tinggal lantunan doa-doa dari anak cucu yang selalu beliau harapkan, sehingga beliau senantiasa memperoleh ketenteraman abadi di sisi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
PS : Terima kasih untuk Mas Luluk dan Keluarga yang telah membantu memberikan informasi untuk penulisan obituari ini.
Sugeng tindak, Bapak Maryomo. Mugi panjenengan pikantuk rahmat lan pangayoman saking Allah SWT. Amin.
kkk
Label:
bambang sadoyo,
maryomo,
meninggal dunia
Langganan:
Postingan (Atom)